Tanya : Assalaamu’alaikum. Beberapa kali saya berangkat ke masjid untuk mengerjakan shalat Jum’at dan tiba di sana ketika adzan sedang dikumandangkan. Manakah yang lebih utama bagi saya, berdiri mendengarkan dan menjawab adzan terlebih dahulu baru mengerjakan shalat tahiyyatul-masjid ataukah langsung mengerjakan tahiyyatul masjid dengan konsekuensi saya tidak kehilangan kesempatan menjawab adzan ?.
Jawab : Wa’alaikumus-salaam warahmatullaahi wabarakaatuh.
Yang lebih utama Anda lakukan adalah langsung mengerjakan shalat tahiyyatul-masjid[1]agar tidak kehilangan kesempatan mendengarkan khutbah Jum’at. Hal itu dikarenakan menjawab adzan hukumnya sunnah[2], sedangkan mendengarkan khuthbah Jum’at adalah wajib[3]. Yang wajib mesti didahulukan daripada yang sunnah. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[anakmuslimtaat’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor - 13081434/22062013 – 00.15].
[1] Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ
“Apabila salah seorang dari kalian masuk masjid, hendaklah ia shalat dua raka’at sebelum duduk” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 444 & 1167, Muslim no. 714, Abu Daawud no. 467, dan yang lainnya].
[2] Inilah pendapat yang raajih dari dua pendapat yang beredar di kalangan ulama. Inilah pendapat yang dipegang jumhur ulama.
Ulama Hanafiyyah dan sebagian Maalikiyyah berpendapat wajibnya mendengarkan dan menjawab adzan dengan dalil :
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ "
Dari Abu Sa’iid Al-Khudriy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila kalian mendengar adzan, maka katakanlah semisal apa yang dikatakan muadzdzin” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 611, Muslim no. 383, Abu Daawud no. 522, dan yang lainnya].
Dalam hadits di atas ada perintah untuk menjawab adzan, dan perintah asalnya mengkonsekuensikan kewajiban.
Juga atsar berikut :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: " مِنَ الْجَفَاءِ أَنْ تَسْمَعَ الْمُؤَذِّنَ ثُمَّ لَا تَقُولُ مثل مَا يَقُولُ "
Dari ‘Abdullah (bin Mas’uud), ia berkata : “Termasuk kasarnya tabiat adalah engkau mendehgar muadzdzin, namun engkau tidak mengatakan (menjawab) apa yang ia katakan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/228 (2/384) no. 2383].
Pendalilan di atas dijawab sebagai berikut :
Perintah itu asalnya memang mengkonsekuensikan kewajiban selama tidak ada dalil yang memalingkannya dari hukum asal tersebut (menjadi sunnah). Dan di sini, ada dalil yang memalingkannya, yaitu :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: " كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُغِيرُ إِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ، وَكَانَ يَسْتَمِعُ الأَذَانَ، فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا، أَمْسَكَ، وَإِلَّا أَغَارَ، فَسَمِعَ رَجُلًا، يَقُولُ: اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَلَى الْفِطْرَةِ، ثُمَّ قَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خَرَجْتَ مِنَ النَّارِ فَنَظَرُوا، فَإِذَا هُوَ رَاعِي مِعْزًى "
Dari Anas bin Maalik, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah hendak menyerang satu daerah ketika terbit fajar. Beliau menunggu suara adzan, jika beliau mendengar suara adzan maka beliau menahan diri. Namun jika beliau tidak mendengar, maka beliau menyerang. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun mendengar seorang laki-laki berkata (mengumandangkan adzan) : Allaahu akbar Allaahu akbar. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Di atas fithrah”. Kemudian ia (muadzdzin) berkata : “Asyhadu an laa ilaaha illallaah, asyhadu an laa ilaaha illallaah”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ia keluar dari api neraka”. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melihat siapakah laki-laki itu, dan ternyata ia seorang penggembala kambing [Diriwayatkan oleh Muslim no. 382, At-Tirmidziy no. 1618, Abu Daawud no. 2634, dan yang lainnya].
Dalam hadits ini, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menjawab dengan kalimat semisal yang diucapkan muadzdzin.
عَنْ ثَعْلَبَةَ بْنِ أَبِي مَالِكٍ الْقُرَظِيِّ، أَنَّهُمْ كَانُوا فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ يُصَلُّونَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ حَتَّى يَخْرُجَ عُمَرُ، فَإِذَا خَرَجَ عُمَرُ وَجَلَسَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَأَذَّنَ الْمُؤَذِّنُونَ. قَالَ ثَعْلَبَةُ: جَلَسْنَا نَتَحَدَّثُ فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُونَ، وَقَامَ عُمَرُ يَخْطُبُ أَنْصَتْنَا فَلَمْ يَتَكَلَّمْ مِنَّا أَحَدٌ.
Dari Tsa’labah bin Abi Maalik Al-Quradhiy : Bahwasannya orang-orang (para shahabat dan taabi’iin) di jaman ‘Umar bin Al-Khaththaab mengerjakan shalat sunnah hingga ‘Umar keluar. Ketika ‘Umar keluar dan duduk di atas mimbar, muadzdzin mengumandangkan adzan. Tsa’labah berkata : “Kami duduk dan berbincang-bincang. Apabila muadzdzin telah diam (selesai) dan ‘Umar berdiri untuk berkhuthbah, kami pun diam dan tidak ada seorang pun di antara kami yang berbicara” [Diriwayatkan oleh Maalik 1/446 no. 247; shahih].
Atsar ini menunjukkan bahwa para shahabat dan taabi’iin dulu tidak menganggap mendengarkan dan menjawab adzan sebagai kewajiban, karena mereka berbincang-bincang saat dikumandangkannya adzan. Mereka baru berhenti saat adzan telah selesai dan khaathib mulai berkhuthbah.
Adapun atsar Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu yang di atas adalah lemah karena keterputusan antara Al-Musayyib bin Raafi’ dengan Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu [Jaami’ut-Tahshiilno. 768].
[3] Dalilnya adalah :
Allah ta’ala berfirman :
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan Al-Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat” [QS. Al-A’raaf : 204].
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ، أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " احْضُرُوا الذِّكْرَ، وَادْنُوا مِنَ الْإِمَامِ فَإِنَّ الرَّجُلَ لَا يَزَالُ يَتَبَاعَدُ حَتَّى يُؤَخَّرَ فِي الْجَنَّةِ وَإِنْ دَخَلَهَا "
Dari Samurah bin Jundab : Bahwasannya Nabiyullah ashallallaahu ‘alaihi wa sallampernah bersabda : “Hadirilah adz-dzikr (khuthbah) dan mendekatlah kepada imam. Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang senantiasa menjauhkan diri darinya, hingga ia pun diakhirkan menuju surga walaupun ia (ditakdirkan) memasukinya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1108, Ahmad 5/10, dan yang lainnya; hasan].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ أَنْصِتْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ، فَقَدْ لَغِيتَ
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Apabila engkau berkata kepada saudaramu : ‘diamlah’ pada hari Jum’at saat imam sedang berkhutbah, maka engkau telah berbuat sia-sia” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 934, Muslim no. 851, Abu Daawud no. 1112, dan yang lainnya].
Hadits ini menunjukkan wajibnya menghadiri khuthbah dan diam untuk mendengarkannya. Wallaahu a’lam.