Matilah Sebelum Mati | Ilmu Islam

Minggu, 01 Desember 2013

Matilah Sebelum Mati

Agama Islam sangat menganjurkan kita semua untuk mengingat-ingat mati. Beda banget lho, dengan orang-orang bule Barat yang sudah lama mengembangkan budaya takut menghadapi mati. Padahal tidak usah pakai perenungan yang dlaam pun kit atahu kalau kematian itu pasti datangnya. Kematian itu datangnya tidak terelakkan. Setiap orang pasti mati. Hidup ini hanya terdiri dari beberapa menit, hari, bulan, dan tahun. Anda yang masih muda juga bisa mengalami mati, lho! Mati itu tidak hanya urusan orang-orang gede dan orangtua. Apapun aktivitas anda di dunia, anda harus ingat empat kenyataan ini: Satu, tidak ada makhluk hidup yang tidak akan mati. Dua, tidak ada yang sanggup menunda kematian, termasuk dokter terhebat di dunia. Tiga, tidak ada yang tahu kapan kematian datang. Empat, tidak ada yang tahu dimana kematian datang.

Ada seorang remaja yang sedang duduk-duduk di sebelah Nabi Sulaiman. Izrail, si malaikat pencabut nyawa, datang sambil memperlihatkan wujudnya kepada si remaja. Kehadiran Izrail membuat si remaja ketakutan.

“Siapa itu ya, Nabi Allah?” tanya si remaja kepada Nabi Sulaiman. Sulaiman bilang kalau itu adalah malaikat maut.

Si remaja bilang, “Wahai Nabi Allah, aku sangat takut dengannya. Tolong terbangkan aku ke tempat yang jauh. Ke India saja! Yang penting, aku bisa sejauh mungkin dari Izrail si malaikat maut itu!”

Yang mulia Nabi Sulaiman memerintahkan angin membawa si remaja terbang ke India. Maka, terbanglah si remaja ke India saat itu juga bersama angin. Setelah itu, beberapa menit kemudian, Izrail datang lagi. Nabi Sulaiman berkata kepada Izrail, “Hey Izrail, kenapa kamu memperlihatkan wujudmu di mata si remaja tadi?”

Izrail si malaikat maut itu menjawab, “Aku diperintahkan oleh Allah untuk mencabut nyawa si remaja di India (nah, lho!). Aku kaget melihat dia duduk disini. ‘Sedang apa dia disini,’ pikirku. Sekalian saja aku memperlihatkan diri.”

Lihat, sebagaimana pun takutnya anda dengan yang namanya mati, mau kabur kemana pun, dia pasti datang, kan? Jadi, yang paling penting bukanlah mencari tempat yang aman dari kematian, tapi bagaimana caranya menghadapi kenyataan kalau kita semua akan mati. Sebenarnya, dengan mengingat kenyataan kalau setiap orang itu bisa mati kapan dan dimana pun, anda akan hidup dengan lebih sadar dan bertanggung jawab. Anda akan banyak memanfaatkan waktu daripada berpikir masih ada waktu yang tidak terbatas untuk mengerjakan ini dan itu.

Sebelum meninggal dunia, Nabi Muhammad S.A.W bersabda kepada sahabat-sahabatnya, “Aku meninggalkan bagi kalian dua guru setelah aku pergi Satu guru yang berkata dan satunya lagi guru yang diam. Guru yang berkata adalah Al-Qur’an, sedangkan guru yang diam adalah kematian.”

Kematian adalah guru, kata Nabi S.A.W. Jangan seperti orang Barat, yang menganggap kematian sebagai ancaman.

Menurut Al-Ghazali, cara kita mengingat mati dimulai dengan cara seperti ini: pertama, ingatlah saudara atau teman anda yang sudah lebih dulu meninggal dunia, lalu bandingkan dengan umur anda sendiri (mungkin tidak anda mati sekarang?). Anda mungkin pernah punya teman yang mati muda. Teman sekelas saya dulu meninggal dunia cuma sehari sehabis menjenguk dan memberi komentar tentang patah tulang saya. Kedua, ingat-ingatlah kekayaan, kehormatan, dan ketenaran yang mereka punya, tonggak tinggi yang mereka tegakkan, tubuh indah yang mereka dulu pamerkan, semuanya itu sekarang jadi debu yang tidak ada artinya. Tidak ada jejak mereka yang tertinggal, mereka masuk ke dalam lubang yang gelap. Ketiga, ingatlah bagaimana mereka berjalan dan sekarang seluruh tulang-tulang sendinya terpisah-pisah, lalu lidah, yang dengannya mereka bicara macam-macam dengan entengnya, kini dimakan ulat-ulat, gigi mereka rusak berkarat. Banyak orang yang menyimpan harta untuk dua-tiga puluh tahun ke depan, padahal siapa tahu dia mati keesokan harinya.

Ada sebuah contoh drama misteri yang tokoh utamanya adalah orang yang akan menemui kematian. Dia mencari orang siapa yang akan menemani di kuburan untuk membelanya di pengadilan Allah nanti.

“Jangan aku!” kata teman-temannya.
“Jangan aku!” kata anak-anaknya.
“Jangan aku!” kata istrinya.
“Jangan aku!” kata ustadznya.
“Jangan aku! Jangan aku! Jangan aku!” kata sawah-ladangnya, kebunnya, domba-dombanya, masnya, dan semua harta bendanya.

Tapi...

“Aku akan bersamamu,” kata amalnya. Amal-amal itu mengikuti sampai ke kuburan, selalu ada di sampingnya. Orang itu dan amalnya mengetuk pintu kematian bersama.

Apa yang akan anda bawa bersama menuju kota kematian bukanlah kantong uang, handphone, dompet, juga bukan foto-foto di dompet anda. Lihatlah kereta jenazah yang diikuti oleh kerabat, teman dekat, teman jauh, tetangga, dan orang-orang lain yang begitu ramai. Tidak ada yang mau mengikuti anda, kecuali kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan yang anda lakukan selama hidup di dunia.

Seseorang mengajarkan kalimat ini: “Matilah sebelum mati.” Konon, salah satu arti kalimat itu adalah: selama anda hidup, anda harus berusaha belajar merenungkan apa yang akan terjadi sehabis mati nanti. Semakin sering anda memaknai kematian, akan semakin bijaklah anda memandang apa itu mati. Semakin bijak anda memandang mati, maka hidup anda akan jadi lebih bermakna.

Maulana Rumi mengajarkan kita kurang lebih begini: saat anda turun ke bumi sebagai makhluk Allah, sebelum anda disebut manusia, anda dulu hanyalah sebutir mineral, lalu kemineralan anda mati menjadi tumbuhan; setelah mati sebagai tumbuhan, jadilah anda hewan. Setelah melewati fase hewan, baru anda menjadi manusia, punya pikiran, pertimbangan, kesadaran, dan keyakinan.

Kita mulai dari mineral. Sifat mineral anda adalah sifat anda yang mati. Anda tidak punya keinginan, tidak punya hasrat, anda sangat menerima dengan keadaan. Hidup anda statis dan tidak kritis sama sekali dengan keadaan yang semrawut. Sementara dunia memanggil anda dengan banyak sekali persoalan yang harus anda bereskan, anda terkantuk-kantuk dengan kopi dan pisang goreng di sudut kamar. Apakah anda mau diam tertidur sementara di samping sebuah mal, bayi-bayi kecil harus pindah dari rumah gubuknya yang akan digusur? Atau, anda mau diam ketika kemarahan menguasai anda? Membiarkan dendam, kebencian, dan kebodohan menguasai, bukanlah sifat asli anda. Anda harus mematikan sisi mineral anda yang membuat anda berkarat seperti cangkul yang tidak pernah dipakai itu.

Setelah anda mati sebagai mineral, anda akan tumbuh sebagai tumbuhan yang hanya punya satu kehendak plus satu aturan ciptaan anda. Kalau mood anda ingin berbuah, sepanjang musim kerja anda cuma berbuah. Kalau lagi senang merambat, anda tidak punya aktivitas lain yang lebih hebat ketimbang menempelkan diri, lalu merambatkannya di pohon lain. Kalau lagi senang mengisap sumber energi orang lain, anda terus-terusan jadi benalu. Begitulah, fase tumbuhan akan menunjukkan kalau anda masih sangat statis walaupun sedikit lebih baik daripada mineral.

Sekarang, setelah sifat tumbuhan dalam diri anda itu mati, anda lahir kembali menjadi makhluk yang berbeda, anda menjadi hewan. Hewan dipenuhi dengan hasrat. Kalau mineral tidak punya keinginan, dan tumbuhan hanya punya satu keinginan, maka seluruh diri hewan anda adalah keinginan. Terhadap kenyataan, hewan tidak mau ambil pusing memikirkannya, yang ada dalam dirinya cuma kata, “Aku ingin ini!” Kalau orang lain yang lebih tahu dari anda bilang, “Tidak bisa, sayang, ini berbahaya!”, anda sebagai hewan tidak mau tahu dan terus menyeruduk untuk mendapatkannya.

Setelah menjadi hewan, anda menjadi manusia. Menjadi manusia adalah suatu fase campuran setelah kematian demi kematian yang anda lewati. Maksudnya, anda tidak harus kaget kalau di dalam diri anda ternyata ada banyak keinginan, tapi juga penuh dengan pertimbangan. Suatu kali, manusia hanya bisa diam seperti mineral, pada hari lain, dia bisa malas seperti tumbuhan, lain hari lagi dia bisa benar-benar menjadi agresor, menyerang dan menjatuhkan korban. Dan, dia juga bisa setaat malaikat. Tapi, sisi lain yang dimiliki manusia dan tidak dimiliki yang lainnya adalah kreativitas. Manusia bisa menafsirkan perintah Allah sesuai dengan kemampuan dan pengalamannya. Tidak seperti malaikat yang sami’na wa atha’na, yang artinya: kami dengar lalu kami laksanakan. Manusia menafsir, mempertimbangkan berbagai kemungkinan penggunaan ayat. Kelebihan inilah yang sebenarnya bisa membuat manusia melampaui kemuliaan malaikat.

Setelah selesai semua urusan anda di dunia ini, setelah anda melewati kematian demi kematian anda sebagai mineral, tumbuhan, hewan, dan manusia, jadilah anda makhluk penuh cahaya yang kemuliaannya setingkat di atas malaikat. Anda harus melalui fase itu melalui kubur.

Walhasil, anda terus-terusan mati dari satu bentuk, buat hidup sebagai bentuk yang lainnya lagi. Hidup anda dimulai dengan sebuah perubahan, berlangsung bersama perubahan, dan akan berakhir melalui perubahan. Jadi, kenapa takut mati? Cuma perubahan, kok. Siapkan saja bekal untuk perubahan ittu!

----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dikutip dari buku Nyari Identitas Diri Karangan M. Ikhsan Hal. 192-201 dengan perubahan 
YouTube Channel Lampu Islam: youtube.com/ArceusZeldfer
Facebook Page: facebook.com/anakmuslimtaat

Matilah Sebelum Mati Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

 

Top